lalu langkahku terhenti. tersadar dan terhenyak.
tiba-tiba semua terlihat jelas. seperti habis men-scan virus,
semua daftar masalah yang ada dalam diriku terpampang di depan mata.
aku memiliki masalah. aku orang dengan masalah.
aku, bermasalah.
bingung, aku menepi dan duduk perlahan.
tanganku menopang dahi, merenung.
membaca daftar masalah ku. yang bikin aku terhenyak lagi adalah
tidak ada yang memberitahuku soal ini. diriku sendiri yang tiba-tiba
menyodorkan daftar masalah ini padaku. lalu, aku mendongak melihat sekeliling.
di mana orang-orang?
tampaknya semua orang sudah memiliki orang-orang yang mau menasihati mereka.
orang-orang yang mau ada di samping mereka untuk memarahi, untuk mengingatkan, untuk menarik kembali.
lalu aku?
semuanya sibuk.
tentu saja bukannya aku tidak pernah dimarahi atau diingatkan.
oh, mereka teman-teman yang sangat baik dan pengertian saat itu.
mereka mau mendengarkan keluh kesahku, mereka bahkan mau membelaku.
tetapi, tampaknya sekarang mereka sudah lelah.
aku terlalu bebal. mereka semua sudah memperingatkan aku agar jangan terjerumus.
tetapi apa?
aku melakukannya.
aku melakukan semua yang dilarang.
aku tidak menggubris kata-kata peringatan mereka.
sekarang apa? aku ingin mereka memarahiku?
memperingatkan ku? menarik ku?
nah.
lagi-lagi jawabannya muncul sendiri.
atau lagi-lagi muncul pertanyaan yang sama?
"apa mau ku?"
aku tahu apa masalah yang ada dalam diriku. aku tahu itu dengan amat sangat jelas.
aku tahu masalahku, dan seharusnya aku tahu bagaimana cara mengatasi masalahku itu, bukan?
ya, tentu saja aku tahu cara mengatasinya. lalu apa yang menahanku? mengapa aku tetap seperti ini?
mengapa aku tidak berubah? dengan kekuatanku sendiri, mengapa aku tidak berubah?
.
.
.
.
.
.
.
.
...dan tahukah kamu apa jawaban yang muncul di dalam kepalaku?
jawaban yang muncul dalam otak kecil ku yang melingkar-lingkar seperti cacing ini?
tahukah?
tahukah?
..... dia bilang .....
"aku mau ada yang mendorongku untuk berubah."
"aku butuh motivasi."
"aku butuh orang yang mau memarahiku dan menarikku."
nah, sudah aku katakan.
lalu, diriku yang satunya berteriak lantang,
"bodoh! tolol! dungu!"
"apa-apaan itu?!? kau butuh orang lain untuk merubahmu?!"
"ini tentang kau, dan masalah diri mu sendiri!! mengapa orang lain yang harus mengingatkan mu?!"
"padahal kau sendiri sudah tahu masalah yang terjadi dan sudah tau bagaimana sikap yang harus diambil!!"
"mengapa kau harus selalu mengandalkan pada orang lain?"
"mengapa tidak kau mengubah diri dengan kekuatan sendiri??"
"mengapa?? mengapa??"
...
tapi.
tapi.
tapi..mungkin aku memang butuh sosok itu.
aku tahu gaya hidup dan cara berpikirku sekarang bila kuteruskan hanya akan lebih menjerumuskanku.
AKU
TAHU
ITU.
tetapi.
yah..
begitu...
JADI MAUNYA APAAAAAAAAAAAAA?!?!?!?!?
...tidak tahu, tidak tahu, AKU TIDAK TAHU!!!
Saturday, December 26, 2009
Emi
Emi, perempuan, 20 tahun, dan ....bodoh.
Ya, bodoh, bodoh, dan sangat bodoh. Bodoh.
Setidaknya itulah yang ada di dalam kepalanya sekarang,
BODOH!
Hmm, tapi cerita ini tidak akan maju apabila terus-terusan menulis bodoh. Jadi, begini..
Emi dan Arbi, ciuman. Dan mereka bukan kekasih.
Bingung? APALAGI EMI!!
Emi dan Arbi pernah punya cerita, tetapi itu dulu.
Emi memang pernah tergila-gila pada Arbi, dan Arbi pun pernah sedikit membalas perasaan itu, meski pada
akhirnya di antara mereka tidak pernah terjadi hubungan pacar dan kekasih. meski begitu mereka tetap
berteman baik. Bukan berteman baik dalam arti mereka selalu bermain bersama, tidak, pertemanan
mereka tidak sepadat itu. Mereka berteman, saling cerita apabila ada kabar terbaru. Emi cerita pada Arbi apabila dia sedang ada masalah dengan pacarnya, begitu juga Arbi.
Mereka kadang bermain bersama, namun itu sangat jarang. Sebenarnya, Emi tidak pernah bisa benar-benar menyerah soal Arbi. Walaupun banyak lelaki telah mengisi hati Emi, setiap kali ia melihat Arbi, semua perasaan itu kembali.
Apakah Emi tak bisa melupakan Arbi karena ia masih penasaran karena belum memiliki laki-laki itu? Bisa jadi..
Yah well anyway, kemarin ini setelah sekian lama tidak bertemu dan mengobrol, ditambah lagi kondisi keduanya sedang 'memungkinkan', maka terjadilah ciuman itu. Awalnya Emi mengira ia dapat mencium Arbi tanpa muncul embel-embel perasaan lain setelahnya. Dengan sok dan bodohnya, Emi mengira setelah itu ia tidak akan merasa apa-apa. Oh, tentu saja Emi berpikir 'Arbi pasti tidak menganggap ini apa-apa, kalau dia bisa berpikir seperti itu maka kenapa aku harus terus kepikiran??'. Tapi sekarang terbukti, hal itu terus terngiang-ngiang dalam kepala Emi selama seminggu ini. Ia berharap dan terus berharap Arbi menghubunginya untuk bertemu lagi. Tapi apa? setelah berciuman pun, bahkan Arbi tidak membahas apa-apa. sedikitpun.
Tidak.
Jadi? Selama seminggu ini (dan kemungkinan masih akan terus berlanjut) kata 'BODOH, TOLOL, DUNGU' terus berputar dan terngiang di dalam otak kecilnya itu. Oh ya tentu saja, lelaki mana yang akan menolak sodoran bibir?? Apalagi tanpa dituntut untuk saling memiliki?? Bukankah itu sempurna??
Dan Emi muda yang bodoh telah mencium laki-laki itu dengan sepenuh hati dan segenap perasaan. Semua kenangan muncul kembali saat ia menciumnya. Cerita yang dulu pernah mereka jalani. Apakah Arbi sadar? Bahwa Emi hanya mencium orang yang ia sayang, yang ia cinta. Ah, tentu saja, Emi perempuan dan Arbi laki-laki. Emi mencium Arbi dengan penuh cinta namun tampaknya sebagai laki-laki normal Arbi menerima ciumannya dengan logika.
Apa ini? Lagi-lagi Emi merasa bodoh dan tak bisa keluar dari kata dungu. Dia tidak percaya bahwa dia benar-benar telah berpikir bisa mencium Arbi tanpa melibatkan perasaannya. Dia lupa bahwa Arbi yang menjadi partnernya. Arbi. ARBI! Arbi yang pernah menggenggam tangannya, Arbi yang dapat membuat ia nyaman kapanpun, tertawa, terhibur. Arbi yang ia percaya, Arbi yang...istimewa. Arbi yang pernah membuatnya menangis, kecewa tapi tak pernah bisa ia benci. Arbi yang selalu bisa membuat ia bertekuk lutut tiap kali bertemu. Arbi yang dulu pernah memeluknya, Arbi yang dulu pernah merayunya, Arbi yang dulu pernah punya rahasia dengannya. Dan kini, Emi benar-benar tidak percaya pada dirinya sendiri karena telah berpikir bisa tetap berpikiran lurus dan berkepala dingin setelah ciuman itu. Setelah sekian lama tidak bertemu dan kini tiba-tiba ciuman, ia benar-benar telah lupa apa pengaruh Arbi terhadap dirinya selama ini. Ia kira walaupun bertahun-tahun sudah lewat sejak kisahnya dan Arbi dulu, sebuah ciuman tidak akan berpengaruh apa-apa.
Oke, Emi sadar ia telah meremehkan efek Arbi padanya. Ia sadar kini kenangannya dengan Arbi semakin bertambah dan terus terngiang-ngiang. Ia bahkan masih bisa merasakan bibir Arbi...oh tidak, ini terlalu mengerikan!! Emi mulai panik. Satu minggu. Sudah lewat satu minggu dan ia masih bisa merasakannya. Bagaimana? Apa yang harus ia lakukan?? Satu hal yang ia tahu tak mungkin dapat ia lakukan adalah cerita ke Arbi. Tidak, Ia tidak ingin Arbi tahu bahwa ia selemah ini. Lagipula ia tak ingin membebani Arbi dengan perasaan ini. Tapi....mungkin akan lebih baik bila Arbi tahu. Ah tidak, Emi tidak mau Arbi menjauh. Tidak, itu akan sangat buruk. Emi hanya ingin lebih sering bertemu Arbi, namun itu terdengar egois. Satu minggu ini Emi benar-benar pusing. Ia tidak keluar kamar. Tidur terus-terusan, berharap bisa bertukar dunia dengan mimpi. Setiap kali ia bangun yang terngiang dalam kepalanya hanyalah Arbi, Arbi dan kenangannya bersama Arbi. Atau, Arbi, Arbi dan harapannya masa depan bersama Arbi. Emi muak. Emi muak dengan segala pikirannya tentang Arbi. tetapi bagaimana lagi? Ia memang merasa apabila dia bersama Arbi semua akan lebih baik dan lebih mudah. Pelarian Emi hanyalah tidur dan tidur. Ia bahkan tidak berharap untuk bertemu laki-laki lain, ia hanya ingin Arbi di sampingnya.
Oke, ini mulai keterlaluan. Emi ingat ia pernah melalui ini sebelumnya, saat Arbi pacaran dengan perempuan lain dan meninggalkannya, dulu sekali. Emi masih ingat jelas bagaimana sakitnya ia saat itu. Tiga bulan hidupnya dengan jadwal menangis, tidur, menangis, makan dan tidur. Dan berakhir saat akhirnya Emi juga punya pacar yang memang dapat membahagiakan dia dan membuatnya lupa pada Arbi, bahkan menganggap Arbi rendah. Tapi itu dulu! Kini sudah lewat 5 tahun dan ia tidak menginginkan akhir yang sama. Emi tahu saat ini Arbi sedang tidak ingin terikat oleh suatu hubungan khusus. Emi tidak mau merepotkan Arbi dengan menuntut itu. Emi ingin sekali dapat bersikap dewasa dan melepaskan semuanya. Tetapi...sulit. Oke, begini, Emi tidak keberatan bila diantara dia dan Arbi tetap tidak ada ikatan apa-apa, tetapi Emi sangat ingin bisa lebih sering berada di samping Arbi, tanpa merepotkan Arbi, tanpa membebaninya. Emi hanya ingin selalu berada di samping Arbi, dan melihatnya, memperhatikannya. Tapi bagaimana mungkin? Rumah mereka jaraknya berjauhan dan jadwal mereka pun berbeda.
Pusing.
eEi benar-benar bingung.
Lapar.
Tiba-tiba ia ingin makan lalu lekas-lekas tidur lagi.
Emi ingin tidur, bermimpi dan bangun dengan segar. Semoga saat bangun nanti Arbi tidak terlalu memenuhi pikirannya lagi. Arbi dan bibirnya. Arbi dan segala efek yang ditimbulkannya. Arbi.. Dan Arbi.
Ah, seandainya Emi bisa merangkak kembali ke dalam rahim ibu dan tidur selamanya di sana...
Ya, bodoh, bodoh, dan sangat bodoh. Bodoh.
Setidaknya itulah yang ada di dalam kepalanya sekarang,
BODOH!
Hmm, tapi cerita ini tidak akan maju apabila terus-terusan menulis bodoh. Jadi, begini..
Emi dan Arbi, ciuman. Dan mereka bukan kekasih.
Bingung? APALAGI EMI!!
Emi dan Arbi pernah punya cerita, tetapi itu dulu.
Emi memang pernah tergila-gila pada Arbi, dan Arbi pun pernah sedikit membalas perasaan itu, meski pada
akhirnya di antara mereka tidak pernah terjadi hubungan pacar dan kekasih. meski begitu mereka tetap
berteman baik. Bukan berteman baik dalam arti mereka selalu bermain bersama, tidak, pertemanan
mereka tidak sepadat itu. Mereka berteman, saling cerita apabila ada kabar terbaru. Emi cerita pada Arbi apabila dia sedang ada masalah dengan pacarnya, begitu juga Arbi.
Mereka kadang bermain bersama, namun itu sangat jarang. Sebenarnya, Emi tidak pernah bisa benar-benar menyerah soal Arbi. Walaupun banyak lelaki telah mengisi hati Emi, setiap kali ia melihat Arbi, semua perasaan itu kembali.
Apakah Emi tak bisa melupakan Arbi karena ia masih penasaran karena belum memiliki laki-laki itu? Bisa jadi..
Yah well anyway, kemarin ini setelah sekian lama tidak bertemu dan mengobrol, ditambah lagi kondisi keduanya sedang 'memungkinkan', maka terjadilah ciuman itu. Awalnya Emi mengira ia dapat mencium Arbi tanpa muncul embel-embel perasaan lain setelahnya. Dengan sok dan bodohnya, Emi mengira setelah itu ia tidak akan merasa apa-apa. Oh, tentu saja Emi berpikir 'Arbi pasti tidak menganggap ini apa-apa, kalau dia bisa berpikir seperti itu maka kenapa aku harus terus kepikiran??'. Tapi sekarang terbukti, hal itu terus terngiang-ngiang dalam kepala Emi selama seminggu ini. Ia berharap dan terus berharap Arbi menghubunginya untuk bertemu lagi. Tapi apa? setelah berciuman pun, bahkan Arbi tidak membahas apa-apa. sedikitpun.
Tidak.
Jadi? Selama seminggu ini (dan kemungkinan masih akan terus berlanjut) kata 'BODOH, TOLOL, DUNGU' terus berputar dan terngiang di dalam otak kecilnya itu. Oh ya tentu saja, lelaki mana yang akan menolak sodoran bibir?? Apalagi tanpa dituntut untuk saling memiliki?? Bukankah itu sempurna??
Dan Emi muda yang bodoh telah mencium laki-laki itu dengan sepenuh hati dan segenap perasaan. Semua kenangan muncul kembali saat ia menciumnya. Cerita yang dulu pernah mereka jalani. Apakah Arbi sadar? Bahwa Emi hanya mencium orang yang ia sayang, yang ia cinta. Ah, tentu saja, Emi perempuan dan Arbi laki-laki. Emi mencium Arbi dengan penuh cinta namun tampaknya sebagai laki-laki normal Arbi menerima ciumannya dengan logika.
Apa ini? Lagi-lagi Emi merasa bodoh dan tak bisa keluar dari kata dungu. Dia tidak percaya bahwa dia benar-benar telah berpikir bisa mencium Arbi tanpa melibatkan perasaannya. Dia lupa bahwa Arbi yang menjadi partnernya. Arbi. ARBI! Arbi yang pernah menggenggam tangannya, Arbi yang dapat membuat ia nyaman kapanpun, tertawa, terhibur. Arbi yang ia percaya, Arbi yang...istimewa. Arbi yang pernah membuatnya menangis, kecewa tapi tak pernah bisa ia benci. Arbi yang selalu bisa membuat ia bertekuk lutut tiap kali bertemu. Arbi yang dulu pernah memeluknya, Arbi yang dulu pernah merayunya, Arbi yang dulu pernah punya rahasia dengannya. Dan kini, Emi benar-benar tidak percaya pada dirinya sendiri karena telah berpikir bisa tetap berpikiran lurus dan berkepala dingin setelah ciuman itu. Setelah sekian lama tidak bertemu dan kini tiba-tiba ciuman, ia benar-benar telah lupa apa pengaruh Arbi terhadap dirinya selama ini. Ia kira walaupun bertahun-tahun sudah lewat sejak kisahnya dan Arbi dulu, sebuah ciuman tidak akan berpengaruh apa-apa.
Oke, Emi sadar ia telah meremehkan efek Arbi padanya. Ia sadar kini kenangannya dengan Arbi semakin bertambah dan terus terngiang-ngiang. Ia bahkan masih bisa merasakan bibir Arbi...oh tidak, ini terlalu mengerikan!! Emi mulai panik. Satu minggu. Sudah lewat satu minggu dan ia masih bisa merasakannya. Bagaimana? Apa yang harus ia lakukan?? Satu hal yang ia tahu tak mungkin dapat ia lakukan adalah cerita ke Arbi. Tidak, Ia tidak ingin Arbi tahu bahwa ia selemah ini. Lagipula ia tak ingin membebani Arbi dengan perasaan ini. Tapi....mungkin akan lebih baik bila Arbi tahu. Ah tidak, Emi tidak mau Arbi menjauh. Tidak, itu akan sangat buruk. Emi hanya ingin lebih sering bertemu Arbi, namun itu terdengar egois. Satu minggu ini Emi benar-benar pusing. Ia tidak keluar kamar. Tidur terus-terusan, berharap bisa bertukar dunia dengan mimpi. Setiap kali ia bangun yang terngiang dalam kepalanya hanyalah Arbi, Arbi dan kenangannya bersama Arbi. Atau, Arbi, Arbi dan harapannya masa depan bersama Arbi. Emi muak. Emi muak dengan segala pikirannya tentang Arbi. tetapi bagaimana lagi? Ia memang merasa apabila dia bersama Arbi semua akan lebih baik dan lebih mudah. Pelarian Emi hanyalah tidur dan tidur. Ia bahkan tidak berharap untuk bertemu laki-laki lain, ia hanya ingin Arbi di sampingnya.
Oke, ini mulai keterlaluan. Emi ingat ia pernah melalui ini sebelumnya, saat Arbi pacaran dengan perempuan lain dan meninggalkannya, dulu sekali. Emi masih ingat jelas bagaimana sakitnya ia saat itu. Tiga bulan hidupnya dengan jadwal menangis, tidur, menangis, makan dan tidur. Dan berakhir saat akhirnya Emi juga punya pacar yang memang dapat membahagiakan dia dan membuatnya lupa pada Arbi, bahkan menganggap Arbi rendah. Tapi itu dulu! Kini sudah lewat 5 tahun dan ia tidak menginginkan akhir yang sama. Emi tahu saat ini Arbi sedang tidak ingin terikat oleh suatu hubungan khusus. Emi tidak mau merepotkan Arbi dengan menuntut itu. Emi ingin sekali dapat bersikap dewasa dan melepaskan semuanya. Tetapi...sulit. Oke, begini, Emi tidak keberatan bila diantara dia dan Arbi tetap tidak ada ikatan apa-apa, tetapi Emi sangat ingin bisa lebih sering berada di samping Arbi, tanpa merepotkan Arbi, tanpa membebaninya. Emi hanya ingin selalu berada di samping Arbi, dan melihatnya, memperhatikannya. Tapi bagaimana mungkin? Rumah mereka jaraknya berjauhan dan jadwal mereka pun berbeda.
Pusing.
eEi benar-benar bingung.
Lapar.
Tiba-tiba ia ingin makan lalu lekas-lekas tidur lagi.
Emi ingin tidur, bermimpi dan bangun dengan segar. Semoga saat bangun nanti Arbi tidak terlalu memenuhi pikirannya lagi. Arbi dan bibirnya. Arbi dan segala efek yang ditimbulkannya. Arbi.. Dan Arbi.
Ah, seandainya Emi bisa merangkak kembali ke dalam rahim ibu dan tidur selamanya di sana...
Tuesday, October 27, 2009
the fiction of sheila shamrock 93
Subscribe to:
Posts (Atom)